Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget


Ibnu Al Araby


SPB Tuanku Raja Gontar IV DR. Drs. H Syafri Fadillah Marpaung, SE, MPd , Diminta Sebagai Pembicara Penanggap dalam Bedah Kitab " Futuhat Makiyah" Pada Webinar , Dalam Rangka Memperingati Hari Santri Nasional , Kamis 22 Oktober 2020 

WWW. NKRINEWS.COM  I Medan, 19/10/2020 I DR. Drs. H Syafri Fadillah Marpaung, SE, MPd , Diminta Sebagai Pembicara / Penanggap dalam Bedah Kitab " Futuhat Makiyah" Pada Webinar Nasional , Dalam Rangka Memperingati Hari Santri Nasional , yang di Rencanakan pada hari Kamis 22 Oktober 2020 Pukul 19.00-24.00 WIB.

Ibnu Arabi menghasilkan banyak karya, sekitar 300 buku. Di antara buku-buku itu, yang paling dikenal adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah juga Tarjuman al-Asywaq. Futuhat adalah karya besar yang menyingkap ilmu gaibul gaib uluhiyat & rububiyyat yang sangat dalam sesuai dengan keterbukaan sang syekh dari Yang Haq berhubungan dengan permohonan sang syekh ketika di Mekkah. ujar Pak Syafri yang juga Raja Gontar IV.

Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Tai, dikenal sebagai Ibnu Arabi. Ibnu Arabi merupakan pria yang cerdas. Sejak usia delapan tahun, saat keluarganya tinggal di Sevila, Spanyol, ia telah mempelajari Alquran dan Fikih. Bahkan karena kecerdasannya yang luar biasa, dalam usia belasan ia pernah menjabat sebagai sekretaris beberapa gubernur Sevilla.Selain Ibnu Rusyd, sejumlah ulama juga pernah menjadi gurunya. Sebut saja Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf Al Lakhmy, Abu Al Qasim Al-Syarrath, dan Ahmad Abi Hamzah yang memberikan pengajaran mengenai Alquran dan qiraahnya.

Pengaruh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuf filosofis, sangat luar biasa. Gagasan Ibnu Arabi menyebar luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Di Indonesia, paham wahdah al-wujud Ibnu arabi berpengaruh besar. Terbukti dengan banyak ulama Indonesia yang memakai prinsip wahdah al-wujud, di antaranya: Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus Samad al-Palimbani.

al-Syaikh al-Akbar (Tuan Guru Terbesar Sufisme) Ibn ‘Arabi (lahir hari Senin, 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M, ada juga sebahagian Literatur menyatakan beliau lahir 14 Agustus 1165 ) di dalam karyanya yang sangat monumental, al-Futuhat al-Makkiyyah, tentang jalan (sufisme) yang engkau akui sebagai jalan (tarekat) mulia menuju dan mencapai Allah swt. Kitab al-Futuhat al-Makkiyyah ini merupakan sebuah kitab yang dikenal sebagai ensiklopedi tasawuf terbesar hingga hari ini. Jelaskan pula kepada saya, lanjut Ibn ‘Arabi, tentang hakikat-hakikat dan tahapan-tahapan (al-maqamat)-nya dengan bahasa yang ringkas, padat, dan bisa saya mengerti hingga bisa saya amalkan, menuju, dan mencapai Allah swt sebagaimana engkau mencapai-Nya.

Ketahuilah, tulis al-Syaikh al-Akbar menjawab pertanyaannya sendiri, bahwa jalan menuju Allah swt terdiri atas empat ranting, yaitu motif/pendorong (al-bawa’its), magnet/penarik (al-dawa’ie), bentuk batin (al-akhlak), dan hakikat (al-haqaiq). Sedangkan yang mengajak mereka untuk memetik empat ranting ini  adalah tiga hak yang mengikat mereka, yaitu hak Tuhan, hak makhluk, dan hak dirinya sendiri.

Hak Tuhan dan Hak Makhluk

Hak Tuhan berarti bahwa mereka harus menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun dan siapapun. Hak makhluk berarti bahwa mereka harus menahan luka dari seluruh makhluk, apapun luka itu dan semua luka, selama syariat tidak mewajibkan penegakan had. Hak makhluk berarti pula bahwa berbuat baik sekuat tenaga, dan mendahulukan orang lain (al-itsar), selama syariat tidak mencegahnya. Karena, tidak ada jalan menuju pemenuhan kewajiban kecuali dengan lidah syariat.

Di dalam literatur Usul Fikih, semisal Mabadi’ Awwaliyah-nya Abd Hakim, disebutkan bahwa mendahulukan orang lain (al-itsar) di dalam perbuatan mubah adalah dianjurkan, sedangkan al-itsar di dalam perbuatan sunah adalah makruh.

Al-Futuwwah

Al-Itsar, oleh kaum sufi dikenal dengan nomenklatur al-Futuwwah. Banyak kronik (cuplikan) sejarah yang menggugah tentang al-Futuwwah atau al-Itsar. Di antara kronik sejarah yang menggugah itu adalah kisah yang dikutip dari hadis sahih Bukhari Muslim oleh al-Allamah al-Hafidz Abdullah Ibn al-Shiddiq al-Gumari di dalam karyanya al-I’lam bi Anna al-Tashawwuf min Syariat al-Islam (Tasawuf Adalah Bagian Dari Syariat Islam).

Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. ‘Wahai Rasulullah, saya lapar’. Rasulullah saw pun pergi menemui para istrinya, namun mereka berkata ‘Tak ada apa-apa di sisi kami kecuali air’. Rasulullah saw bersabda ‘Siapa yang mau menjamu orang ini?’. ‘Saya’, jawab seorang Sahabat Rasul dari golongan Anshar sambil berdiri. Kemudian, keduanya berangkat ke rumah laki-laki yang berdiri tadi. Sesampainya di rumah, dia berkata pada istrinya ‘Muliakanlah tamu Rasulullah saw!’. Istrinya menjawab ‘Tak ada apa-apa di sini kecuali makanan yang hanya cukup untuk anak-anak kita’. ‘Siapkan makanan itu. Lalu nyalakan lampu. Tidurkan anak-anak, jika mereka mau makan malam’. Dengan patuh, sang istri menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Kemudian dia berdiri, berpura-pura membetulkan lampu, lalu memadamkan lampu itu. Mereka berdua, suami istri itu, pura-pura makan di dalam kegelapan, pura-pura menemani tamu yang sedang makan. Mereka berdua semalam suntuk tidur dalam keadaan perut kosong.

Pagi harinya, laki-laki yang memberi makan itu, sedang dirinya sendiri kelaparan, menemui Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda ‘Allah swt tadi malam tersenyum, takjub pada perbuatan kalian berdua’. Inilah al-Futuwwah itu. Mendahulukan orang lain. Bahkan, di antara cara yang paling mendekatkan diri kepada Allah swt adalah dengan mengeluarkan harta di jalan Allah swt.

Mendahulukan orang lain, seperti kronik di atas, adalah dianjurkan, dan merupakan ajaran kaum sufi. Sufisme mencela orang yang pelit dan kikir. Namun, mendahulukan orang lain di dalam perbuatan sunah adalah makruh. Misalnya, saat shalat berjamaah ada saf kosong di depan kita. Lalu, kita mendahulukan orang lain untuk mengisi saf sosong itu adalah makruh. Kaum sufi tidak suka melakukan perbuatan makruh.

Hak Diri Sendiri

Kembali ke al-Futuhat, selanjutnya, al-Syaikh al-Akbar menulis, hak dirinya sendiri adalah hendakanya mereka tidak berjalan kecuali di atas jalan menuju kebahagiaan dan keberhasilan. Wass. Demikian Penutup yang disampaikan Raja Gontar IV Syafri Fadillah Alhajj ( Red 267 )





Posting Komentar

0 Komentar