Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget


Bedah Naskah Serat Jatiswara

 

Raja Gontar IV DR. Drs. H. Syafri Fadillah Marpaung, SE, MPd

SANTRI LELANA BRATA: Sebuah Identifikasi Serat Jatiswara Sebagai Suluk    
Dhiyan Prastiyono


WWW.NKRINEWS.COM I Medan 16/10/2020 I Raja Gontar IV DR. Drs. H. Syafri Fadillah Marpaung, SE, MPd Ikut Bedah Naskah Serat Jatiswara dalam Webinar malam ini.

1. Pengantar  Kata suluk diturunkan dari kata salaka dalam Bahasa Arab, yang berarti, ‘jalan’, kemudian terdapat pula kata sulukun, yang berarti, ‘kehidupan seorang pertapa’ (Hava 1951: 333). Dalam Encyclopaedia of Islam, suluk diartikan sebagai. ‘perjalanan’, yakni suatu batas yang dipakai oleh kaum sufi untuk melukiskan kemajuan mistik menuju jalan mencapai Tuhan (Gibb dan Kraemers 1953: 551-552). Di samping itu suluk juga mempunyai arti, ‘suatu bentuk karya sastra yang berbau kehidupan mistik. Adapun kitab suluk itu berisi penjelasan-penjelasan konsep mistik atau kata-kata kriptik, yakni pesan yang tersembunyi di balik kata-kata itu, sering kali berupa tanya jawab antara guru dengan murid, istri dengan suami, dan sebagainya. Namun, yang jelas karya sastra itu ditulis dalam bentuk tembang macapat (Pigeaud 1967: 85-87). Dalam tradisi kesastraan, teks-teks yang berisi konsep semacam itu dimasukkan dalam genre sastra suluk (Barried 1984: 4; Kasidi 1985: 4-5).

Berdasar pada beberapa pengertian di atas, tulisan ini akan mencoba menerapkan pengertian-pengertian di atas untuk melihat langsung salah satu karya sastra Jawa, yaitu Serat Jatiswara. Dipilihnya Serat Jatiswara sebagai obyek dalam tulisan ini bukanlah tanpa alasan. Dalam buku: Serat Jatiswara: Struktur dan Perubahan di dalam Puisi Jawa 1600-1930, karya Timothy Behrend (1990) dan kemudian diterjemahkan oleh Achadiati Ikram (1995) setebal 695 halaman, tidak dijumpai satu petunjuk yang mengarah pada konsepsi Serat Jatiswara sebagai suluk. Hal itu menjadi rangsangan bagi penulis untuk mencermati Serat Jatiswara secara lebih mendalam. Dalam hal ini memang tidak dapat dilepaskan masalah pemanfaatan penelitian-penelitian terdahulu mengenai Serat Jatiswara, seperti mialnya: Timothy Behrend (1990) dan Sastranaryatmo (1981). Dalam hal ini Serat Jatiswara akan dicoba diidentifikasi mengenai kemungkinan apakah dapat didudukkan sebagai sastra suluk. Pengidentifikasian ini untuk sementara masih didasarkan pada ciri-ciri fisiknya saja, belum akan ditelusuri secara tekstual yang lebih mendalam.



2. Serat Jatiswara

a. Deskripsi Singkat

Behrend menguraikan bahwa setidak-tidaknya terdapat 50 manuskrip Serat Jatiswara dalam koleksi-koleksi yang mudah dijangkau. Sebagian besar manuskrip ditulis dengan aksara Jawa atau Bali, kecuali beberapa transkripsi Latin yang berasal dari abad XX yang dibuat untuk para peneliti modern. Bahan manuskrip yang digunakan adalah lontar, kertas dari kulit kayu dan kertas kain (Behrend 1995: 15). Diungkapkan oleh Behrend pula bahwa semua teks Serat Jatiswara ditulis dengan menggunakan prosodi tembang macapat, yaitu prosodi yang mengatur jumlah larik, suku kata dalam larik, jeda pemutusan, dan jenis vokal  pada akhir masing-masing larik (Behrend 1995: 101).  Lebih lanjut dapat dijelaskan, sebenarnya transkripsi  dan terjemahan yang dikerjakan oleh Sastranaryatmo (1981) dapat dikatakan lebih lengkap secara naratif (dari awal hingga akhir), tetapi karena tidak diketahui teks mana yang dijadikan sebagai dasar transkripsinya, maka karya itu untuk sementara dapat dikesampingkan. Penulis lebih cenderung untuk memilih nukilan teks yang dibuat oleh Behrend, yaitu nukilan teks G (Behrend 1995: 620-647). Nukilan teks yang dikerjakan oleh Behrend adalah sebatas pada episode dua atau yang oleh Behrend disebut dengan episode Ki Saimbang (Behrend 1995: 421-422). Walaupun teks yang digunakan adalah nukilan, tetapi penulis berharap nukilan itu dapat mewakili teks secara keseluruhan. Untuk lebih memperjelas nukilan teks G tentang episode Ki Saimbang, di bawah ini akan diuraikan mengenai sinopsis episode Ki Saimbang.



b. Ringkasan Episode Ki Saimbang dari Serat Jatiswara

Setelah berpamitan dengan istrinya, Jatiswara berjalan ke arah timur melintasi daerah rimba untuk mencari Sujati. Tak lama kemudian ia sampai di sebuah dusun yang dimiliki oleh seseorang bernama Ki Saimbang; ia melepas lelah di patani milik Ki Saimbang. Ki Saimbang mempunyai dua orang putri, yakni Nawangkapti dan Warsita. Adik laki-lakinya, yakni Tegawarna yang tinggal satu pekarangan dengan Ki Saimbang, mempunyai seorang putri bernama Suwastra. Ketiga gadis tersebut hendak pergi mandi, tetapi ketika keluar dari halaman rumah, mereka melihat Jatiswara di patani dan mereka cepat-cepat masuk kembali dengan perasaan malu dan agak terkejut. Setelah berunding, ketiga gadis itu memutuskan untuk keluar bersama-sama dan memberi salam kepada pemuda asing itu. Namun, pada pandangan pertamanya Nawangkapti telah jatuh cinta kepada Jatiswara, dan ia sangat malu melihat ulah kedua saudaranya. Nawangkapti mengajak mereka pulang ke rumah, tetapi ketika sampai di rumah Nawangkapti jatuh pingsan, sehingga seisi rumah menjadi bingung. Setelah mendengar bahwa di luar ada tamu dan mungkin dialah yang dianggap menjadi penyebab pingsannya Nawangkapti, maka Ki Saimbang keluar menyambut Jatiswara seraya mempersilakn naik ke rumahnya. Jatiswara memperkenalkan diri, sementara tuan rumah menyuguhkan sekapur sirih. Di bagian belakang rumah terdengar suara tangis seorang perempuan, yang makin lama makin keras. Pada kesempatan ini, Ki Saimbang mendesak, supaya Jatiswara merawat Nawangkapti. Jatiswara menggunakan sepah sirihnya sebagai obat dengan disertai doa-doa, maka Nawangkapti pun langsung kembali sehat. Sebagai tanda terima kasihnya, Ki Saimbang mengawinkan Nawangkapti dengan Jatiswara.

Pada malam hari Jatiswara mengajarkan kepada tuan rumah tentang hakikat wujud manusia. Wujud manusia adalah majazi, tidak seperti wujud Allah. Tubuh manusia adalah seperti bayang-bayang pada cermin atau cahaya bulan yang membias pada permukaan kaca, tidak ada wujudnya yang hakiki. Percakapan dilanjutkan dengan mengungkapkan batasan sejumlah istilah serta menyebut asal-usul hal-hal seperti: tanah, udara, air, dan sholat.



Akhirnya, sampai juga pada waktunya untuk berpamitan, kendatipun semuanya mendesak, supaya Jatiswara tetap tinggal. Namun, ia mohon diri dan berjanji akan kembali setelah menemukan saudaranya yang hilang (Behrend 1995: 124-125).

3. Serat Jatiswara Sebagai Suluk

a. Perjalanan dan Pengendalian Hawa Nafsu

Ciri yang pertama ini adalah berangkat dari pengertian suluk, yang berarti, ‘jalan’, yang kemudian mengalami perluasan makna menjadi, ‘kehidupan seorang pertapa’ (Hava 1951: 333).  Jika dilihat secara harafiah, kata pertapa berasal dari kata tapas dalam Bahasa Sansekerta, yang mempunyai arti, ‘tapa, mati raga, pengendalian indra atau hawa nafsu, yoga’ (Zoetmulder 1995, II: 1210). Jadi pertapa dapat diartikan, ‘orang yang melakukan tapas’.

Di dalam Serat Jatiswara, tokoh utamanya adalah Jatiswara. Ia melakukan pengembaraan untuk mencari Sujati, saudara laki-lakinya. Ia tidak akan menghentikan pengembaraannya sebelum menemukan Sujati. Dalam hal ini Jatiswara dapat dikatakan sebagai pertapa: ia mengesampingkan atau mengekang keinginannya yang lain demi menemukan Sujati. Ia mengesampingkan segala kesenangannya di dunia untuk menemukan saudara laki-lakinya atau dengan kata lain berkaitan dengan arti tapas. Jatiswara melakukan pengendalian indra atau hawa nafsu. Hal ini, dalam Serat Jatiswara, dapat dibaca pada pupuh II, 37 dan 70-78. Pada bait-bait itu diuraikan bahwa setelah Jatiswara amurwani kanya Nawangkapti, Warsita dan Suwastra, mereka mandi bersama dan setelah Nawangkapti dan kedua saudaranya, tidur Jatiswara tetap duduk, terbawa kekhawatiran menemukan Sujati. Kemudian, setelah sholat Subuh, ia menemui Saimbang untuk mohon pamit. Kyai dan Nyai Saimbang mendesak Jatiswara, agar mengurungkan rencananya. Namun, Jatiswara meyakinkan mereka dan berjanji berkali-kali bahwa ia akan kembali, apabila telah berhasil menemukan Sujati, dan akhirnya Jatiswara pun berangkat melanjutkan pengembaraannya (Behrend 1995: 128-129).



Dari uraian di atas dapatlah dijelaskan bahwa Jatiswara selalu ingin melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Ia tidak akan berhenti melakukan pengembaraannya sebelum menemukan Sujati, sekalipun segala kesenangannya selalu menjadi godaan di tempat-tempat persinggahannya, antara lain di padhepokan Ki Saimbang.

b. Ajaran Mistik

Pengidentifikasian yang kedua adalah berangkat berdasarkan pengertian bahwa suluk mengandung ajaran-ajaran yang bersifat mistik (Gibb dan Kraemers 1953: 551-552). Ajaran-ajaran semacam itu di dalam Serat Jatiswara, di antaranya terdapat pada pupuh II, 68-69. Diuraikan bahwa setelah melakukan perkenalan, Ki Saimbang mengakui ketidaktahuannya mengenai “makna usaha orang dalam kehidupan: surasaning kalakuhan urip ….. kesudahan akhir keberadaan ini ….. tempat Islam di dalamnya ….. dan awal dan akhirnya”, maka ia memohon penjelasan kepada Jatiswara. Jatiswara menjelaskan dengan rasa yang segan, ia juga menambahkan beberapa pokok, termasuk wahya paesan, perbedaan antara nyawa dan jisim; asal-mula sikap tubuh di dalam sholat (berdirirukuhsujud, dan duduk), sehubungan dengan keempat anasir, empat jenis ikhramsarengathakikattarekat dan makrifat-nya sholat dan asal mula anasir alam.  Semua yang hadir memperhatikan ketika Jatiswara menjelaskan.

Selepas sholat asar, Saimbang dan sanak saudaranya berkumpul lagi untuk mendengarkan uraian Jatiswara. Ia melewatkan sore itu dengan memberi penjelesan makna berbagai istilah Arab, termasuk iman; takid; makrifat; ngalimun; kadirun; basirun; samiyatun; mutakalimun; dan lain sebagainya.

Berdasar uraian di atas dapatlah dijelaskan bahwa di dalam Serat Jatiswara juga diuraikan tentang ajaran-ajaran mistik yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan.



c.  Prosodi Tembang Macapat

Pengidentifikasian yang ketiga adalah berdasarkan bentuk fisik dari suluk, yaitu bahwa suluk ditulis dalam bentuk tembang macapat (Pigeaud 1967: 85-7). Nukilan teks Serat Jatiswara, yang dibuat oleh Behrend, yang berisi episode Ki Saimbang memuat dua prosodi tembang, yaitu tembang durna dan tembang dhandhanggula.

1. Bait Pangkur

Sebuah bait pangkur terdiri dari 7 larik (baris) yang tersusun sebagai berikut:



1.
8
suku kata, berakhir vokal
a


2.
11
suku kata, berakhir vokal
i


3.
7
suku kata, berakhir vokal
u


4.
7
suku kata, berakhir vokal
a


5.
12
suku kata, berakhir vokal
u


6.
8
suku kata, berakhir vokal
a


7.
8
suku kata, berakhir vokal
i


2. Bait Dhandhanggula

Menurut Behrend, tembang dhandhanggula inilah yang dominant di dalam teks Serat Jatiswara, paling tidak mewakili 68,5% dari jumlah baris dalam 7 resensi utama (Behrend 1995: 344). Sebuah bait dhandhanggula terdiri atas 10 larik yang tersusun sebagai berikut:






1.
10
suku kata, berakhir vokal
i


2.
10
suku kata, berakhir vokal
a


3.
8
suku kata, berakhir vokal
e


4.
7
suku kata, berakhir vokal
u


5.
9
suku kata, berakhir vokal
i


6.
7
suku kata, berakhir vokal
a


7.
6
suku kata, berakhir vokal
u


8.
8
suku kata, berakhir vokal
a


9.
12
suku kata, berakhir vokal
i


10.
7
suku kata, berakhir vokal
a


Walaupun didasarkan pada nukilan, namun kedua prosodi tembang di atas dapatlah di jadikan bukti bahwa teks Serat Jatiswara berbentuk tembang macapat.

4. Penutup

Sebagai akhir dari tulisan ini, sehubungan dengan pengidentifikasian Serat Jatiswara sebagai suluk, maka kiranya dapat diambil beberapa pengertian. Pertama, bahwa kata suluk suluk berasal dari kata Arab yang mempunyai arti ‘jalan’ yang kemudian mengalami perluasan arti menjadi ‘kehidupan seorang pertapa’. Kedua, bahwa suluk adalah suatu bentuk karya sastra yang mengandung ajaran-ajaran yang bersifat mistik. Ketiga, suluk ditulis dalam bentuk tembang macapat. Dari beberapa pengertian di atas, setelah diterapkan dalam nukilan teks Serat Jatiswara ternyata teks tersebut mengandung cirri-ciri di atas, maka kiranya bukan suatu hal yang berlebihan jika dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa Serat Jatiswara termasuk dalam salah satu khasanah sastra suluk.

Tulisan ini bukanlah hasil akhir yang memuaskan. Masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang tentunya dapat menguatkan atau bahkan mematahkan pendapat ini


Daftar Pustaka

Baried, Siti Baroroh, 1984. Naskah Jawa Bernafaskan Islam (Proyek Javanologi). Jogjakarta.

Behrend, T.E., 1995. Serat Jatiswara; Struktur dan Perubahan di dalam Puisi Jawa 1600-1930. Seri INIS XXIII. INIS Jakarta.

Gibb, H.A.R. dan Kramers, J.H., 1953. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.

Hava. J.G., 1951. Arabic-English Dictionary. Beirut: Catholic Press.

Pigeaud, 1967. Literature of Java vol. I. The Hague: Martinus-Nijhoff.

Kasidi, 1985. Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Jogjakarta; Analisis Hubungan Suluk dengan Melodi, Pathet, Tokoh, Lakon dan Cakepan. Jogjakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM.

Sastronaryatmo, Moelyono, 1981. Serat Jatiswara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zoetmulder, P.J., 1995, Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia

HALAMAN :
  1. 1
  2.  
  3. 2


Posting Komentar

0 Komentar